Hormati Perbedaan Idul Adha

 

KEBUMEN - Ketua Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB) Kabupaten Kebumen Mohammad Dawamudin Masdar kemarin mengajak umat Islam untuk saling menghormati adanya perbedaan Idul Adha 1435 Hijriyah.

Dawamudin yang juga sekretaris MUI Kebumen itu menjelaskan, untuk kali kesekian Idul Adha tahun ini terjadi perbedaan. Pemerintah berdasarkan metode Hisab Imkanurukyat dan Rukyat dalam sidang Isbat (Rabu, 24/9) menetapkan Tanggal 1 Dzulhijjah 1435 Hijriyah jatuh pada hari Jumat (27/9), sehingga tanggal 10 Dzulhijjah dengan hari Minggu 5/10 2014. Dasar penetapan Pemerintah itu, mengingat laporan Tim Rukyat Kemenag RI dari 70 titik di seluruh Indonesia, tidak satu pun dari tim tersebut dapat melihat hilal atau bulan sabit.

Selain itu, lanjut Dawamudin, berdasarkan pemaparan ahli astronom dari Planetarium dan Observatorium Jakarta yang menyampaikan data astroomis bahwa ketika matahari terbenam pada hari Rabu (24/9) lalu, posisi hilal atau buln sabit baru 0,63 derajat di atas ufuk. Jadi hilal pada saat itu berdasarkan pengalaman empirik tidak bisa dilihat. Karena hilal tidak bisa dilihat, maka Pemerintah  menggenapkan bulan Dzulqo'dah 1435 Hijriyah menjadi 30 hari.

Jangan Dikaitkan

Dia mengakui, sebelum sidang Isbat Pemerintah dilaksanakan, PP Muhammadiyah terlebih dahulu menetapkan berdasarkan metode Hisab Wujudul Hilal-nya, 1 Dzulhijjah 1435 Hijriyah jatuh pada hari Kamis 25/9, sehingga tanggal 10 Dzulhijjah jatuh atau bertepatan dengan Sabtu, 4/10. Oleh karena hari raya Idul Adha tahun ini tidak mungkin disatukan.

"Saya mengimbatu dan mengajak kepada seluruh umat Islam saling menghormati perbedaan hari raya Idul Adha tahun ini. jangan sampai saling mengaku paling benar, dan menuduh pihak lain sebagai yang tidak benar.

Dawamudin mengajak semua tokoh masyarakat, elite politik, ustad dan kiai menhyikapi perbedaan ini jangan dikait-kaitkan dengan pengelompokan komunitas politik. Misalnya, yang hari raya Sabtu pendukung Koalisi Merah Putih atau yang hari raya Minggu pendukung Jokowi JK. "Kalau ini terjadi, berarti sudah memelintir dan politisasi agama, jelas tidak benar," tandas pengajar IAINU Kebumen itu.

Dia mengingatkan, perbedaan itu hanya soal metode Isbat, yang dipakai Muhamamdiyah berbeda dengan metode yang dipakai dengan metode yang dipakai Pemerintah, sehingga hasilnya pun berbeda. Karena itu akan lebih manis dan santun bagi yang berhari raya hari Sabtu, takbiran pada malam Sabtu cukup di mushola atau masjid dan bila perlu tidak pakai pengeras suara. Ini demi menghormati yang berhari raya hari Minggu.

Kemudian untuk malam Minggu, antara yang berhari raya Sabtu dan berhari raya Minggu bisa takbir keliling bersama dan memakai pengeras suara. (B3-32)

sumber : suaramerdeka