Demam Batu Akik Melanda Kebumen
KEBUMEN - Beberapa bulan terakhir, demam batu mulia, batuan bercorak atau akik hingga batuan alam polesan makin melanda berbagai kalangan di Kebumen. Mulai dari pejabat, pegawai negeri, polisi, TNI, jaksa, petani, karyawan pabrik, guru hingga pengusaha bangga memakai akik di jari manisnya.
Fenomena ini cukup menarik mengingat di era 80-an hingga 90-an, batu akik di Kebumen identik dengan perhiasan murah yang dijual di emperan toko. Batu akik banyak dipakai kaum marjinal yang tidak sanggup membeli emas namun ingin tetap bergaya. Pemakai akik bahkan diidentikkan sebagai dukun karena mengangap batu akik bertuah dan punya daya magis. Meski masih ada yang berbau klenik, saat ini terjadi pergeseran karena sebagian penggemar mulai melihat sebagai estetika.
Ya, semakin banyak penggemar akik berdampak bergairahnya pasar, sehingga permintaan batu utamanya batuan khas Kebumen atau Luk Ulo cukup tinggi. Dampaknya, sejumlah workshop maupun perajin batu akik selalu dipadati pengunjung. Sebut saja Dasa Stone di Jalan Kolonel Sugiyono, Badar Besi di Jalan Pasar Rabuk dan di Bammas Stone di Jalan Es Bening Kelurahan Panjer. Konsumen tidak hanya dari masyarakat lokal tetapi banyak berasal dari luar Kebumen.
“Memang minat masyarakat terhadap batu akik mulai meningkat, tidak hanya orang tua tetapi di kalangan anak muda,” ujar Dasa Warsono (50) pemilik Dasa Stone, Jumat (3/10).
Demam batu juga terjadi di Gombong. Paling tidak terdapat lima workshop yang mengolah batuan dari bongkahan besar sampai menjadi cincin di kota tersebut. Salah satunya workshop Bursa Batu milik Miming (42) di Jalan Pemuda 6 Kelurahan Wonokriyo, Gombong. Dalam mengelola usahanya, Miming bekerjasama dengan Agus (52), veteran perajin akik yang sudah malang melintang di dunia per-akik-an sejak 1972.
“Kami baru buka sekitar empat bulan. Sudah lumayan ramai, kalau di rata-rata bisa menghasilkan 20-an batu yang bisa dijadikan cincin. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 1,5 juta,” ungkap Miming mengaku omzet Bursa Batu miliknya mencapai Rp 20 juta/bulan.
Soal harga juga tidak dipermasalahkan oleh Giyono (42), kolektor akik yang mengaku telah menghabiskan Rp 50 juta untuk mengoleksi akik. Kepala Desa Kedungjati Sempor ini pun mengungkapkan, dia mengkoleksi ratusan cincin akik serta bongkahan batu yang dipoles sebagai aksesoris penghias rumahnya.
Baginya, selain sebagai kesenangan, mengkoleksi akik juga sebagai wujud kebanggaan sebagai warga Kebumen yang dianugerahi Tuhan kekayaan alam terutama batuan yang indah. Giyono juga bercita-cita agar bisnis batu akik di Kebumen bisa lebih maju dari daerah lain.
“Dari segi bisnis batu akik Kebumen masih kalah dengan daerah lain meskipun memiliki kualitas yang lebih baik,” katanya mengakui secara marketing Kebumen masih kalah.
(Supriyanto/CN34/SM)
SUMBER: http://www.beritakebumen.info/2014/10/demam-batu-akik-melanda-kebumen.html#ixzz3FKI0iC5R