Angkat Isu Kelestarian Alam lewat Ketoprak

KEBUMEN -Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen menggelar pentas kolaborasi Ketoprak Dangsak yang mengangkat lakon ”Reksa Mustika Bumi”, di Aula Setda Kebumen, Senin (22/12) malam. Lakon yang diusung dalam pementasan ketoprak tersebut mengangkat isu kelestarian alam di tengah ancaman eksploitasi pertambangan. Lakon ”Reksa Mustika Bumi” yang naskahnya ditulis oleh Pekik Sat Siswonirmolo membeberkan pertarungan kepentingan rezim kekuasaan bernafsu mengeksploitasi sumber daya alam dengan berdalih kesejahteraan rakyat sekitar.

Pentas lakon ini disutradarai oleh Ki Basuki Hendro Prayitno dalang asal Ambal juga Ketua Umum DKD Kebumen. Pementasan berdurasi dua jam ini melibatkan sekitar 42 pemain terdiri atas pelaku seni tradisi cepetan dari Desa Watulawang, teater Gerak IAINU Kebumen, grup seni Lengger Jatijajar, Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB), dan beberapa pengurus DKD Kebumen.

Pementasan ini juga didukung iringan gending digawangi oleh Bambang Budiono, juga seorang dalang asal Desa Jatijajar, Ayah. Grup kesenian lengger juga mengampu iringan gamelan dari SMP Taman Dewasa sepanjang durasi pementasan yang dikolaborasikan dengan jimbe dan perkusi. Sejumlah pemain ketoprak terlibat pada pementasan itu, antara lain Wuryanto (Diparbud), Murdiono Mancung (PNS Kecamatan Prembun), Harnoto Aji (Kepala SMA Negeri Karanganyar), Ari Susanto (Karyawan Bank Jateng), Sahid Elkobar (Teater Gerak). Agus Budiono (Guru SMP Karanggayam), Pipin Damayanti (PNS Guru). Kemudian Darmawan Riyadi (profesional), Saeful (Teater Gerak), Pekik Sat Siswonirmolo (pengurus DKD), Pitra Suwita (Pengurus DKD), John Silombo (pesulap), Marikun Bahtiar (pesulap), dan Achmad Marzoeki (birokrat). Bahasa Gado-gado Tampak Wabup Djuwarni ikut menyaksikan hingga pertengahan lakon.

Ikut mendampingi Staf Ahli Bupati Siti Kharisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Heri Setyanto, serta sejumlah tokoh masyarakat, dan seniman di Kebumen. Secara umum pementasan menggunakan bahasa gado-gado Bahasa Indonesia dan Jawa itu cukup menarik di tengah minimnya pentas seni, dan budaya di kabupaten berslogan Beriman ini. Bisa dimaklumi jika sebagian pelakon masih tampak kaku baik dalam dialog maupun gerak teatrikalnya karena bukan pelakon profesional. Bumbu-bumbu permaian sulap yang dimasukkan dalam adegan cukup menghibur penonton.

Adapun lakon Reksa Mustika Bumi bercerita tentang keteguhan local genius dalam melindungi ekologi bumi, dipaksa berhadapan dengan tren modal mengincar kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Simbolisasi tradisi cepet atau dangsak pada pementasan itu mewakili perwujudan nilai-nilai kearifan lokal secara teguh dipelihara oleh Ki Wicaksono diperankan oleh Wuryanto bersama para pengikutnya. Batas akhir dari keteguhan pemeliharaan adalah saat kepentingan rezim kekuasaan dengan mengandalkan patron hirarki menekan, dan memporak-porandakan segala tatanan lokal. ”Inilah hakikat antagonisme sosial yang jadi realitas obyektif di mana-mana saat-saat ini,” ujar Pekik Sat Siswonirmolo, sang penulis naskah.

Menurut guru di SMP 2 Kutowinangun itu, lakon tersebut menarik karena konteksnya terhadap situasi kontemporer. Kasus kekerasan mewarnai resistensi masyarakat adat versus segala bentuk ancaman dari pemilik modal. ”Terutama serbuan pertambangan terhadap penghancuran lingkungannya,” ujarnya.(J19-52)

 

sumber : suaramerdeka.com