Efek Mudik, Perajin Kekurangan Pegawai



ALIAN - Perajin tas Kebumen mengeluh kekurangan karyawan. Musim Lebaran ini karyawannya ikut merantau bersama pemudik.

Akibatnya, perajin tas yang tersebar di sejumlah daerah harus merekrut tenaga kerja baru dan mengajari dari awal lagi.

"Ini menjadi kendala kami karena untuk mengajari satu karyawan agar bisa menjahit atau mengobras, butuh biaya cukup besar. Lebih dari Rp 1 juta," kata salah satu perajin tas asal Desa Bojongsari, Kecamatan Alian Kebumen, H Nur Muhammad Sugiyanto.

Ia pun meminta agar Pemkab memberikan pelatihan kepada karyawan secara langsung di tempat produksi tas. Hal tersebut disampaikan Sugiyanto saat dikunjungi Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Kbeumen, Djoko Soetrisno ST MM, Senin (27/8). Apalagi kebutuhan tenaga kerja produsen tas cukup besar dimana dia saat ini memiliki 30 karyawan.

Di Kebumen terdapat 225 perajin tas, Untuk Desa Bojongsari 20 perajin tas. Lebaran ini masih libur. Untuk berproduksi kembali pada H+10 Lebaran. Prospek perajin tas cukup menjanjikan.

"Produksinya rata-rata 300 potong per hari," kata Sugiyanto.

Pangsa pasarnya dijelaskan Sugiyanto cukup luas dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Sayangnya, karyawan yang sudah mahir menjahit dan mengobras itu malah lari ke kota karena mendapat iming-iming gaji lebih tinggi. "Seperti ke Jakarta dan Bandung," imbuhnya.

Ikut Merantau

Momen Lebaran pun dimanfaatkan ikut merantau bareng saudara atau temannya yang sempat mudik. Kini tinggal ibu-ibu rumah tangga yang masih bertahan menjadi karyawan perajin tas. Mereka umumnya menjadikan pekerjaan tersebut sebagai sambilan.

Di tempat Sugiyanto penggajiannya menggunakan sistem borongan. Besarnya berfariasi per kodinya. Ada yang Rp 70 ribu, Rp 50 ribu dan Rp 30 ribu. "Tergantung tingkat kesulitannya," imbuh bapak tiga anak itu.

Kendala yang dihadapi perajin tas juga masalah mesin yang kalah canggih, sehingga berpengaruh pada kualitas produksi. Termasuk mesin bordir bantuan dari Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jateng yang baru ia terima. Sebanyak 16 mesin bordir tersebut masih manual.

"Padahal untuk bersaing kualitas perlu mesin canggih yang dioperasikan dengan komputer. Yang pakai komputer tetapi sederhana kan ada dimana harganya sekitar Rp 20 juta per unit," kata Sugiyanto.

Djoko Soutrisno menjelaskan, Dinas Koperasi dan UMKM yang dipimpinnya baru beberapa bulan berdiri. Karena itu, keluhan yang diterima langsung dari perajin tersebut akan digunakan sebagai bahan evaluasi ke depan. Djoko Soetrisno yang pensiun mulai 1 September itu mendandaskan perlu menciptakan lapangan pekerjaan di desa seperti yang dilakukan Haji Ahmad, panggilang Nur Muhammad Sugiyanto. "Perlu ada pemberdayaan masyarakat secara berkesinambungan," pungkasnya. (K5-91)

sumber suaramerdeka

Mohon Pengumuman E-Proc-marka.pdf