Mang Engking Buka Cabang Ke-17

KEBUMEN – Gubug Makan Mang Engking membuka cabang ke-17 di Jalan Raya Gombong Barat, Kretek, Rowokele, Kebumen.

Sabtu (7/2) lalu, grand opening yang ditandai dengan pemotongan pita dan penandatanganan prasasti oleh Wakil Bupati Kebumen Djuwarni.

Rumah makan yang menempati areal sawah teras siring seluas satu hektare itu menghadirkan nuansa alam dengan 10 gubuk bambu dan satu gubug utama.

Lokasi di tengah sawah itu, untuk memberi nuansa lain dalam menikmati sajian menu khas udang galah dan gurame. Sejumlah pejabat di lingkungan Pemkab menghadiri grand opening tersebut.

Wakil Bupati Djuwarni mengapresiasi adanya Gubug Mang Engking di kabupaten berslogan Beriman ini. “Diharapkan akan memberi kontribusi positif bagi masyarakat Kebumen,” katanya.

Menurut dia, lokasi restoran yang berada di areal sawah teras siring itu, seperti di Bali atau Lembang Bandung. Pihaknya pun mengaku terkesan dengan pelayanan yang ada. Terlebih dengan sajian makanannya.

Direktur PT Mang Engking Group Apep Zuhdi mengemukakan, ada tiga cabang baru restoran yang menggunakan sistem waralaba itu. Selain di Kebumen, cabang Gubug Mang Engking ke-18 dan ke-19 berada di Tangerang dan Sumatera.

“Untuk di Kebumen ada tambahan kata Putra,” kata Apep sembari menambahkan, Gubug Mang Engking Putra akan dikelola putra Mang Engking.

Mulut ke Mulut

Restoran yang memiliki slogan dari desa untuk Indonesia itu menggunakan cabang-cabang yang ada untuk mempromosikan keberadaan cabang baru tersebut. Seperti cabang di Purworejo dan Yogyakarta.

Promosi dari mulut ke mulut itu lebih mengena, sehingga saat pelanggan melancong ke luar kota bisa singgah di Gubug Mang Engking lainnya. Para pelanggan pun sudah berdatangan di Gubug Mang Engking Putra.

Restoran tersebut menyuguhkan nuansa alam desa. Baik bangunan maupun lokasinya pun dengan nuansa pedesaan. “Menu makanan yang disajikan khas Sunda. Utamanya udang galah madu dan gurame bakar cobek,” imbuh Apep.

Kendati khas Sunda, masakan yang disajikan disesuaikan selera masyarakat sekitar. Misalnya untuk masyarakat Jawa lebih menyukai manis. “Kami sesuaikan garam, gula dan kepedasannya. Tapi bumbu utamanya tetap,” jelasnya. (K5-32)

 

sumber : suaramerdeka.com