Sapi Urut Sewu Terkenal sejak Zaman Kolonial

 

KAWASAN pesisir selatan Kebumen atau kawasan Urut Sewu terkenal dengan peternakan sapinya. Tidak hanya saat ini saja, peternakan di wilayah Kabupaten Kebumen dan Karanganyar sudah maju pesat sejak zaman kolonial.

Sapi ras bengaal atau benggala yang didatangkan sebelum 1.900 dapat dikembangbiakkan dengan baik.

Atas usaha serius mantan Residen Bagelen Burnaby Lautier, sapi ras itu menghasilkan keturunan baru yang berkualitas.

Dari perkawinan dengan sapi ras jawa, muncul nama sapi ras banggala jawa. Jenis sapi itu terkenal akan kualitas dagingnya yang padat seperti sapi jawa namun volumenya lebih banyak karena besarnya seperti sapi benggala.

Merujuk catatan E Schmlling dalam Majalah Indie, 24 April 1918,pemerhati sejarah kebumen, R Muh Ravie Ananda menyampaikan, di Mirit pada 1906 didirikan peternakan sapi yang difokuskan pada pembesaran dan pendistribusian yang disebut "Mirit banteng".

Mulai 1914 di wilayah itu membudidayakan dua sapi ras ungggulan Jawa yakni sapi dengan warna putih dan putih abu-abu.

"Dalam perkembangannya sapi ras unggulan Jawa ini menyebar hingga ke pegunungan Karangbolong, sedangkan ke timur hingga ke daerah perbatasan Bagawana (Yogyakarta,red)," ujar Ravie seraya menyatakan, persebaran itu tidak lepas dari pengaruh kekhasan yang hanya
dimiliki daerah Urut sewu.

Tahun 1916 Residen Bengkoelen atau bengkulu Mr Westenenk yang merupakan saudara dari Administrator Gula Purworejo berkunjung ke Mirit. Dia tertarik dan kemudian membeli 100 ekor sapi jawa unggulan itu untuk perbaikan ternak di Benkoelen.

Tradisi Baritan

Pada era itu, para peternak di Urut Sewu khususnya Mirit memiliki Tradisi Baritan, sebuah selamatan kemakmuran ternak. Baritan menjadi festival tahunan yang diadakan saat panen atau pendistribusian sapi hasil pemasaran antara juli sampai september.

Masih berdasarkan tulisan E schmulling,awalnya tradisi itu hanya diadakan di desa percontohan sapi sistematis.Tetapi kemudian menjadi agenda tradisi di seluruh wilayah di Kebumen dan Karanganyar. Baritan dilaksanakan selama tiga hari. Hari pertama dilaksanakan selamatan yang diikuti oleh perangkat desa dan para penggembala atau bocah angon.

Hari kedua dilanjutkan selamatan untuk meminta perlindungan dan kesejahteraan ternak. Selamatan diikuti oleh seluruh warga. Setelah selesai acara doa, para petani dan tokoh desa pulang.

Para pemuda dan anak-anak menyiapkan gamelan dan beksa serta umbul-umbul yang dipusatkan di satu tempat dimana hari ketiganya dilanjutkan dengan acara festival ternak.

Pada puncak festival Baritan diadakan pameran sapi unggulan serta sapi perah, terkadang sapi-sapi tersebut dihias. Bagi sapi yang terpilih menjadi juara, diberi hadiah. Arena festival Baritan sangat semarak  dengan umbul-umbul, rumah panggung dan sebagainya.

"Melalui tradisi ini ada dorongan semangat untuk maju dan meningkatkan produktifitas ternak," ujarnya. Tahun 1914, Bupati Kebumen memberi kesempatan untuk mengadakan festival Baritan terpisah di beberapa desa anatara lain di Ambal dan Buluspesantren.

Baritan semakin berkembang lebih dari 40 desa dengan 12 tempat festival besar. Festival baritan akbar pertama diikuti lebih dari 10.000 pribumi, penduduk eropa di Kebumen, kaum ningrat dan para priyayi.

"Sayang sekali, Baritan sebagai tradisi selamatan kemakmuran ternak asli Mirit yang kemudian menjadi budaya festival akbar
tahunan khas Kebumen tersebut kini telah punah,"tandasnya.

Sumber:Suara Merdeka